Jangan Takut dengan Aspergillus Flavus

  • 13 Juni 2016, 11:55 WIB
  • /
  • Dilihat 6785 kali

Mikotoksin adalah racun yang dihasilkan jamur dan merugikan kesehatan ayam. Hampir setiap tahunnya, penyakit ini selalu menjadi masalah dalam bisnis perunggasan Indonesia. Pasalnya, iklim Indonesia sangat mendukung untuk pertumbuhan jamur ini. Sehingga, upaya pencegahan sejak dini perlu dilakukan.

Pelaku bisnis perunggasan di Indonesia mengharapkan suatu perubahan yakni salah satunya berkurangnya bahkan tidak ditemukan lagi kasus penyakit yang sama di tahun yang akan datang. Salah satu contoh, terjadinya peningkatan kasus penyakit mikotoksikosis pada tahun 2014.

Seperti yang disampaikan oleh drh. Christina Lilis L, Technical Support di PT. Medion kepada majalah Poultry Indonesia (PI) edisi Desember 2014 dalam topik “Kilas Balik Penyakit Unggas 2014” bahwa tahun 2012 dan 2013 kasus mikotoksikosis cukup rendah, namun tahun ini kasusnya jauh lebih banyak. Mikotoksikosis hanyalah istilah untuk kejadian penyakit yang ditimbulkan oleh mikotoksin.

Kasus mikotosikosis masih perlu diwaspadai pada tahun ini. Pasalnya, musim penghujan diperkirakan akan terjadi hingga bulan Maret 2015 di beberapa wilayah di Indonesia. Pada edisi yang sama Drh. Rakhmat Nuriyanto, MBA., Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) menyatakan bahwa di awal tahun diperkirakan curah hujan masih tinggi. Pada keadaan, curah hujan dan kelembaban tinggi, lanjutnya, jamur akan mudah berkembang sehingga perlu diwaspadai.

Jika bercerita tentang mikotoksikosis di lapangan, hampir dipastikan bahwa pembicaraan tersebut selalu mengarah pada pakan. Seperti yang diungkapkan oleh Drh. Pudjiatmoko, Ph.D kepada PI bahwa kasus mikotoksin dalam pakan ternak unggas adalah yang utama selama ini ditemukan di lapangan. Penemuan kasus ini di beberapa daerah juga dipertegas oleh Drh. Arief Hidayat, Technical Department PT. Mensana Aneka Satwa. Menurutnya kasus ini ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur sampai ke Lampung selama bulan Agustus hingga Oktober.

Paparan di atas bisa menjadi pertimbangan pelaku bisnis perunggasan Indonesia untuk mempersiapkan rencana pengendalian kasus mikotoksikosis yang lebih baik di tahun ini. Tujuannya  untuk meningkatkan pendapatan peternak. Pasalnya, pendapatan yang diperoleh peternak pada tahun 2014 semakin tipis. Kondisi ini menjadi perhatian banyak pihak, mulai dari pemerintah hingga para pengusaha. Kepada PI, Amke Wijatman, Strategic Account Manager Elanco Animal Health Indonesia, menyatakan keprihatinannya atas keuntungan yang didapat oleh peternak unggas pada tahun 2014. Menurutnya, pendapatan yang diperoleh peternak semakin tipis. 

 

Butuh lembab

Mikotoksin itu banyak jenisnya dan menurut para ahli kesehatan hewan, hanya beberapa yang harus diwaspadai oleh peternak. Jika kita pernah membaca tulisan yang dirilis oleh Oswesler dkk (1985) bahwa ada 6 jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur yaitu, Deoksinivalenol, Toksin T-2, Okratoksin, Fumonisin, Zaeralenon dan Aflatoxin. Akan tetapi, hanya 4 mikotoksin yang berbahaya bagi kesehatan unggas. Namun, para ahli kesehatan unggas di Indonesia melihat bahwa hanya Aflatoxin yang paling utama. Mungkin Aflatoxin sangat berbahaya dan banyak ditemukan di lapangan.

Ada gula ada semut, pepatah ini juga berlaku untuk mikotoksin. Pasalnya, mikotoksin hanyalah suatu produk yang dihasilkan jamur. Salah satunya Aspergillus flavus (A. flavus) yang mampu menghasilkan Aflatoxin. Jamur yang tergantung dengan kondisi lingkungan ini bisa dilihat tanpa menggunakan alat bantu penglihatan seperti kaca pembesar atau mikroskop. Pasalnya, jamur yang tumbuh membentuk kelompok yang kompak ini akan terlihat dengan ciri-ciri warna mulai dari hijau kelabu, hijau coklat, hitam dan putih (Srikandi, F.,1992). Namun, hasil identifikasi melalui analisa laboratorium akan lebih akurat.

Lingkungan sangat mempengaruhi kehidupannya, ketergantungan A. flavus terhadap kondisi lingkungan telah disampaikan oleh  Food and Agriculture Organization (FAO) yang dikutip dari tulisan Haris D. Kusumaningrum dkk (2010) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berjudul “Cemaran Aspergillus flavus dan Aflatoxin pada Rantai Distribusi Produk Pangan Berbasis Jagung dan Faktor yang Mempengaruhinya” yang menyatakan bahwa kadar air, suhu penyimpanan, kelembaban relatif udara, dan lama penyimpanan menjadi faktor langsung yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gibson dkk (1994) yang menyebutkan bahwa kelembaban relatif lingkungan merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi A. flavus, dibanding kondisi lainnya.

Tidak sedikit para peneliti di negeri ini yang telah mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Aflatoxin. Salah satunya Kasma Iswari dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Barat pada tahun 2006 yang pernah menulis tentang “Kontaminasi Aflatoxin pada Pakan Ternak”. Dia menyampaikan bahwa A. flavus akan memproduksi racun pada kisaran suhu 11- 41°C dan suhu yang ideal (optimum) pada 24-35 °C dengan waktu dari saat paparan agen menular sampai tanda-tanda dan gejala penyakit muncul (masa inkubasi) selama 15 hari. “Aktivitas air (aw) optimum 0,93- 0,98 dengan kadar air di atas 18% serta kelembaban ruang simpan atau kemasan pakan 83%,” tulisnya.

 

Sumber: https://www.poultryindonesia.com/news/kesehatan/jangan-takut-dengan-aspergillus-flavus/

Logo

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

Jl. Harsono RM No.3
Gedung C Lt 6 - 9, Ragunan, Kec. Pasar Minggu,
Kota Jakarta Selatan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12550

Tlp: (021) 7815580 - 83, 7847319
Fax: (021) 7815583

[email protected]
https://ditjenpkh.pertanian.go.id/

Tetaplah Terhubung

Mari jalin silaturahmi dengan mengikuti akun sosial media kami

Copyright © 2021 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian - All Rights Reserved

Aksesibilitas

Kontras
Saturasi
Pembaca Layar
D
Ramah Disleksia
Perbesar Teks
Jarak Huruf
Jarak Baris
Perataan Teks
Jeda Animasi
Kursor
Reset