Ditjen PKH Kementan Sosialisasikan Penggunaan Antimikroba Yang Bijak Kepada Mahasiswa Peternakan Dan Kedokteran Hewan Se Indonesia
- 23 Mei 2017, 04:59 WIB
- /
- Dilihat 2338 kali
Bogor,_ Direktur Kesehatan Hewan Drh. Fadjar Sumping Tjaturrasa mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sosialisasikan penggunaan antimikroba yang bijak kepada mahasiswa peternakan dan kedokteran hewan se Indonesia pada acara Seminar Stadium General Stadium General “Pengendalian Resistensi Antimikroba” dalam rangka National Veterinary Competition sebagai upaya dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba di Sektor Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada acara tersebut Fadjar Sumping, mengajak mahasiswa dan akademisi untuk bersama-sama peduli dalam penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab. Kegiatan ini bekerjasama dengan FAO, USAID, IPB dan PDHI yang dilaksanakan di Gedung Auditorium Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada hari Minggu 14 Mei 2017 yang dihadiri Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB-Bogor yang sekaligusnya juga sebagai Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, perwakilan Kementerian Kesehatan, Ketua Umum PB-PDHI, FAO ECTAD team leader, beberapa Dosen di FKH-IPB, Narasumber dan beberapa tamu Undangan, IMAKAHI seluruh Indonesia yang mengikuti National Veterinary Competition serta beberapa perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Kedokteran Hewan se Indonesia.
Fadjar Sumping Tjaturrasa menjelaskan, antimikroba merupakan salah satu temuan yang sangat penting bagi dunia, mengingat manfaatnya bagi kehidupan, terutama untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, dan kesejahteraan hewan. Akan tetapi bagai “pisau bermata dua”, jika dalam penggunaannya antimikroba ini dilakukan secara tidak bijak dan tidak rasional, maka menjadi pemicu terhadap kemunculan bakteri yang tahan atau kebal terhadap efektivitas pengobatan antimikroba.
Lebih lanjut dijelaskan, fenomena ini dikenal sebagai Resistensi Antimikroba (AMR), yang menjadi ancaman tanpa mengenal batas-batas geografis, dan berdampak pada kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan. Disamping itu, harus disadari bahwa ancaman Resistensi Antimikroba juga dipandang sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor peternakan dan kesehatan hewan.
“Pada saat ini, kita melihat bahwa laporan di berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, namun disisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat. Dengan kata lain, tren peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru,”tambahnya.
Beliau menginformasikan bahwa Tahun 2016, dirilis sebuah laporan global review perkembangan resistensi antimikroba, laporan tersebut menggambarkan model simulasi dimana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 didunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan ASIA.
Gambaran ini akan mungkin terjadi jika saat ini masyarakat internasional tidak memiliki upaya yang konkrit dalam pengendalian penggunaan antimikroba. Maka dari itu, Dunia sedang dalam merealisasikan resolusi global yang diterjemahkan ke dalam Rencana Aksi Global dalam pengendalian Resistensi Antimikroba yang mengamanatkan agar setiap negara di dunia menyusun Rencana Aksi Nasional.
Direktur Kesehatan Hewan menambahkan bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, tentu harus dapat berkontribusi dan menghormati komitmen bersama tersebut, untuk itu saya bersyukur bahwa saat ini kita sedang memfinalisasikan dokumen Rencana Aksi Nasional Indonesia yang merupakan hasil pemikiran dan konsep bersama dari berbagai sektor yang sejalan dengan 5 (lima) tujuan strategi global yaitu: 1) meningkatkan pemahaman, kepedulian dan kesadaran terkait resistensi antimikroba; 2) memperkuat pengetahuan dan basis data (evidence) melalui surveillans & penelitian; 3) melakukan upaya pencegahan infeksi yang efektif melalui penerapan higiene, sanitasi, dan biosecurity; 4) mengoptimalkan penggunaan antimikroba; dan 5) mengembangkan investasi yang berkelanjutan berbasis ketersediaan sumber daya lokal dalam penemuan obat-obatan baru, alat diagnostik, vaksin dan intervensi lainnya dalam upaya pengobatan.
“Kita telah samakan visi & goal bersama yang telah kita tuangkan dalam Rencana Aksi Nasional untuk 3 tahun ke depan, tentu kita harus implementasikan sebaik-baiknya, dengan mempertimbangkan beberapa hal teknis yang harus ditindaklanjuti diantaranya mengharmoniskan protokol & methodology, saling berbagi data dan informasi, saling memperkuat kapasitas monitoring & surveillans, melakukan kajian bersama untuk memformulasikan kebijakan yang efektif dalam mengurangi risiko resistensi, saling memperkuat aturan dan regulasi dalam membatasi akses obat terlarang serta penjaminan penyediaan akses obat yang berkualitas; dan perbaikan tata kelola pemerintahan di masing-masing sektor terkait dengan otorisasi pengunaan dan pengawasan penggunaan obat,”ungkap Fadjar Sumping menjelaskan.
“Ditjen PKH menyadari memiliki peran yang penting dalam mengendalikan laju resistensi antimikroba, untuk itu kami sudah bersiaga dengan mempersiapkan pembentukan Komite Pengendali Resistensi Antimikroba di Kementerian Pertanian dan menyiapkan dokumen rencana aksi dan peta jalan (road map) pengendalian resistensi antimikroba yang sejalan dengan rencana aksi nasional, kami berharap langkah-langkah kita kedepan akan lebih kuat dan terpadu dalam kerangka kerja Kesehatan Terpadu (One Health),”tuturnya.
“Kami menyadari, bahwa segala upaya yang telah kita rancang dan rencanakan tidak akan optimal dalam implementasinya tanpa peran pemangku kepentingan yang terkait. Maka dari itu, dalam kesempatan yang baik ini secara khusus kami berharap agar akademisi, asosiasi profesi, pelaku usaha dan industri, serta masyarakat dapat ikut berperan sebagai bagian dari solusi dalam mengendalikan laju resistensi antimikroba,’tambahnya.
Menurut Fadjar Sumping, Lembaga Perguruan Tinggi merupakan mitra kerja Pemerintah yang sangat penting, berperan dalam menyediakan substansi berbasis bukti ilmiah, yang akan menjadi acuan bagi kebijakan pemerintah. Disamping itu, sebagai lembaga yang akan mencetak insan-insan profesional, Pendidikan Tinggi diharapkan mampu mencetak tenaga dokter hewan yang memiliki pemahaman tentang resistensi antimikroba, dan prinsip-prinsip good veterinary practices khususnya terkait dengan bagaimana antimikroba digunakan secara bijak dan bertanggungjawab.
“Tantangan dalam pengendalikan laju resistensi antimikroba harus dipandang sebagai kewajiban dan tanggung jawab kita semua, untuk itu kita harus senantiasa berupaya dalam menjaga agar efektivitas antimikroba, agar tetap memberikan manfaat bagi kehidupan secara lestari dengan menggunakannya secara bijak, cerdas dan bertanggungjawab,”kata fadjar Sumping
Sumber: Padjarnain, S.Pt, M.Si, Yuliana Susanti, S.Pt, MSi. Subbag Kerjasama dan Humas, Bagian Perencanaan Ditjen PKH.