Sang Jenderal Pembangunan Peternakan
- 12 Maret 2014, 14:00 WIB
- /
- Dilihat 2313 kali
egas dan tetap rendah hati dalam memimpin Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan di Kementerian Pertanian RI, membuat semangat dan panutan bagi semua kalangan untuk terus membangun peternakan Indonesia.
Ir. Syukur Iwantoro, MS., MBA., saat ini menempati posisi jabatan sebagai Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Resmi menduduki jabatan mulai tanggal 5 Desember 2011, menggantikan posisi pejabat sebelumnya. Selama hampir 3 tahun menjabat, telah banyak perubahan dan terobosan yang telah dilakukannya.
Syukur Iwantoro sebelumnya menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian. Syukur bukanlah orang baru di lingkup Kementerian Pertanian. Pada masa Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Syukur pernah menjabat sebagai Kepala Badan Karantina Pertanian.
Menyelesaikan gelar insinyur di bidang peternakan di kampus IPB pada tahun 1982, Syukur kemudian melanjutkan gelar S2 di IPB juga untuk bidang Perencanaan Wilayah dan Pedesaan. Belum puas sepertinya dengan ilmu yang didapatkannya, pria kelahiran Situbondo 30 Mei 1959 itu kembali meneruskan studinya di Inggris dan meraih gelar MBA Agribisnis pada tahun 1994.
Target ekspor ke Jepang
Perunggasan di Indonesia saat ini sedang diterpa badai flu burung. “Tapi alhamdulillah perkembangannya cukup pesat. Perbandingan kontribusi antara ayam ras dengan ayam lokal berkisar 80 persen untuk ayam ras dan 20 persen ayam lokal. Sementara konsumsi ayam di Indonesia berkisar 60 persen dari total populasi masyarakat di Indonesia. Sedangkan untuk daging sapi sekitar 16 persen,” terang Syukur.
Tingkat konsumsi ayam tersebut akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan, gaya hidup, bahkan sekarang cara mengkonsumsi ayam lebih beragam. Tidak hanya ayam dimasak begitu saja, melainkan ada yang diolah menjadi nugget, sosis, dan lain-lain.
Hal ini, kata Syukur, tentunya memberikan prospek dan peluang pengembangan yang cukup bagus. Peningkatan konsumsi tersebut ditandai dengan peningkatan permintaan DOC (Day Old Chick/anak ayam umur sehari) Final Stock, di mana pada tahun 2013 produksi DOC broiler mencapai 2,2 miliar ekor, dan pada tahun 2014 diperkirakan akan mencapai 2,4 miliar ekor DOC. Artinya, permintaan cukup tinggi sehingga prospeknya cukup baik pula.
Ayam ras dan ayam kampung tidak saling bersaing dalam pemasaran, karena memiliki segmentasi pasar yang berbeda. Jika ayam ras masuk ke pasar yang umum, biasa dikonsumsi oleh siapa saja. Sedangkan ayam kampung masuk ke pasar eksklusif, di mana harganya relatif lebih stabil dibandingkan ayam ras dan lebih tinggi pula.
Pria yang memiliki kumis tebal ini, seakan mengerti betul akan polemik dan probematika di sub sektor perunggasan Tanah Air. Dengan beragam latar belakang pendidikan yang pernah ditempuhya menjadi modal baginya dalam menghadapi permasalahan tersebut. Saat ini, di mana kasus flu burung sedang menyerang perunggasan Tanah Air, menyebabkan Indonesia tidak bisa lagi melakukan ekspor ke beberapa negara dikarenakan peraturan yang mengacu pada country base.
“Tantangan ke depan yakni menghadapi pasar bebas, sehingga bagaimana bisa melakukan ekspor. Bisa mengekspor kembali produk unggas seperti halnya pada tahun 2000-an atau sebelum tahun 2003, di mana kasus flu burung belum menyerang,” tegas suami dari Siti Kurnia.
Jika saat ini kita masih belum terbebas oleh flu burung, maka akan sulit untuk dapat melakukan ekspor daging ayam segar. Sehingga, alternatif yang bisa dilakukan ialah mengekspor daging ayam olahan. Industri perunggasan kita sudah siap untuk dapat melakukannya, karena mereka telah mempersiapkan daging olahan atau processing plan. Tentunya ini peluang tersendiri yang dapat dikembangkan. Aulia.
Sumber : https://www.poultryindonesia.com/news/profile/sang-jenderal-pembangunan-peternakan/