Itik Pitalah: Plasma Nutfah Dari Ranah Minang

  • 11 Oktober 2015, 15:26 WIB
  • /
  • Dilihat 8081 kali

Ranah Minang dikenal dengan tanahnya yang subur dan dipenuhi oleh petakan sawah yang membentang di sepanjang dataran. Keadaan seperti ini adalah keadaan yang paling disenangi oleh itik, sehingga tak jarang ditemukan pemandangan itik berkeliaran di sepanjang petakan sawah yang membentang.

Itik adalah salah satu jenis ternak unggas yang populasinya tersebar di seluruh wilayah nusantara, baik perkotaan maupun pedesaan. Itik dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging dan telur yang disukai oleh berbagai lapisan masyarakat. Itik yang dikenal sekarang adalah hasil penjinakan itik liar (anasbosca), jadi ternak itik yang dipelihara biasa disebut anasdomesticus. Pada habitatnya, itik liar lebih sering hidup berpasangan, tetapi setelah jinak sifatnya berubah menjadi suka berganti ganti pasangan (Murtidjo, 1988).

Penelitian menyebutkan itik mempunyai beberapa tanda dan sifat khas yang membedakan dan menggolongkan itik sebagai unggas air. Adapun tanda-tanda spesifik itik ialah kaki ternak itik relatif pendek dibandingkan dengan tubuhnya, sedangkan jari-jari kaki dihubungkan satu sama lain oleh selaput renang, paruh ditutupi selaput halus yang peka. Ternak itik kecuali yang masih kecil tidak mudah kedinginan, karena ada lapisan lemak di bawah kulit, daging ternak itik tergolong gelap atau suram, tulang dada itik datar seperti sampan.

Sebenarnya, hampir seluruh bangsa itik Indonesia berasal dari bangsa Indian runner, yaitu Itik India yang berarti pelari cepat. Dalam penelitiannya, Samosir (1990) mengatakan bahwa bangsa itik Indian Runner merupakan standar dari itik asli Indonesia. Adapun tanda-tanda itik tersebut adalah:

  1. Kepala kecil mungil, mata bersinar terang, terletak di bagian atas dari kepala.
  2. Warna bulu kebanyakan merah tua (cokelat), ada juga yang berwarna bertotol cokelat putih bersih, putih kekuningan, abu-abu hitam dan campuran.
  3. Badan langsing bila dilihat dari depan, mulai dari kepala, leher, badan/punggung berbentuk seperti botol.
  4. Leher langsing bulat dan tegak.

Jika dilihat dari fenotip itik yang dipelihara di Sumatera Barat seperti itik di pulau Jawa berdarah Indian Runner, Harahap dkk (1980) menyatakan bangsa itik tersebut diberi nama berdasarkan daerah setempat seperti, itik Pitalah, itik Payakumbuh, itik Bayang dan itik Kamang.

Itik lokal merupakan salah satu plasma nutfah ternak Indonesia. Upaya pelestarian dan pengembangan itik lokal harus diupayakan guna mempertahankan keberadaan plasma nutfah ternak Indonesia yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Itik merupakan penghasil daging, telur dan juga bulu, itik dapat hidup dan berkembang biak dengan pakan yang sederhana sesuai dengan potensi wilayah (Ismoyowati, 2008).

Menurut data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, jumlah populasi ternak itik Provinsi Sumatera Barat tahun 2014 mencapai 2.361.944 dengan pertumbuhan sebesar 5,00%. Di Sumatera Barat sendiri, itik lokal yang berkembang sebagai plasma nutfah salah satunya adalah itik Pitalah.

Itik Pitalah merupakan itik khas Sumatera Barat, tepatnya dari Nagari Pitalah, Kabupaten Tanah Datar. Itik Pitalah merupakan salah satu rumpun itik lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Provinsi Sumatera Barat, dan telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2923/Kpts/OT.140/6/2011 tanggal 17 Juni 2011.

Ciri khas dari itik Pitalah adalah memiliki postur tubuh yang ramping agak tegak, waktu berjalan posisi tubuh mendatar. Warna bulu itik dewasa jantan adalah abu-abu dengan kemilau kecokelatan, sementara bulu itik betina dewasa dominan warna belang jerami yaitu lurik cokelat tua/kehitaman dengan cokelat muda atau lurik cokelat muda dengan cokelat tua/kehitaman. Warna ceker dan paruh jantan adalah abu-abu kehitaman, sedangkan betina berwarna coklat kehitaman.

Secara kuantitatif, itik Pitalah memiliki ciri khas bobot badan dewasa 1464±246 gram/ekor, panjang ceker  (metatarsus) jantan 4,17±0,48 cm sementara betina 3,84±0,42 cm. Itik Pitalah juga merupakan penghasil telur yang potensial dan pada umumnya itik dibudidayakan sebagai penghasil telur. Produksi telur itik Pitalah sendiri, yaitu 57,29 – 76,12% (180 – 200 butir/tahun/ekor) dengan puncak produksi telur 85% dan dengan bobot telur 60-70 gram/butir.

Selain itu, itik Pitalah juga memiliki ciri spesifik sifat reproduksi seperti  memiliki umur dewasa kelamin 179±31 hari dengan bobot induk bertelur pertama 1464±246 gram/ekor dan lama produksi telur 2,5 – 3 tahun.

Itik Pitalah mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh itik dari bangsa lainnnya. Itik ini juga merupakan sumber daya genetik ternak Indonesia yang perlu dijaga dan dipelihara kelestariannya, sehingga salah satu kekayaan Indonesia ini tetap bisa terselamatkan dari anacaman kepunahan.

Dibandingkan jenis itik lokal lainnya, itik Pitalah lebih unggul baik dari segi produksi telur maupun lama produksinya. Salah satu keunggulan itik Pitalah adalah tidak mengenal istilah afkir (berhenti berproduksi) seperti kebanyakan itik Jawa yang hanya mampu memroduksi telur hingga umur 3 tahun, dan setelah itu dijadikan itik potong. Itik Pitalah terkenal gesit dan mudah dipelihara, serta mampu beradaptasi di lingkungan baru dengan cepat. Hal ini membuat beternak itik Pitalah tidak terlalu sulit dan tidak memerlukan keahlian khusus dalam pemeliharaannya. Itik akan mulai bertelur jika usianya sudah memasuki 6 bulan pemeliharaan.

Umumnya para peternak masih membudidayakan itik Pitalah secara tradisional, yaitu dengan digembalakan ke sawah dan dengan cara dikurung. Sistem pemeliharaan seperti ini akan mempengaruhi kualitas telur yang dinyatakan oleh Suprapti (2002) bahwa kualitas telur ditentukan oleh beberapa hal, antara lain oleh faktor keturunan, kualitas makanan, sistem pemeliharaan, iklim, dan umur telur. Ternak yang digembala di sawah lebih tercukupi kebutuhan proteinnya dan ternak tidak stress dengan lingkungan alam yang sudah menjadi habitat asalnya, sehingga hasilnya juga dapat memberikan bibit yang baik untuk pembibitan itik selanjutnya.

Kenyataannya di lapangan sekarang, status plasma nutfah asli Sumatera Barat ini terancam punah dan sulit untuk mendapatkan itik Pitalah asli sekalipun itu di daerah asalnya sendiri, yaitu Kabupaten Tanah Datar. Keadaan yang menyedihkan ini disebabkan oleh masuknya itik dari daerah Jawa, salah satunya adalah itik Mojosari, yang merupakan itik hasil persilangan antara itik Mojosari (Mojokerto) dengan itik Alabio (Kalimantan), sehingga membuat eksistensi itik Pitalah tersisihkan.

Hal ini tidak baik jika dibiarkan berlarut lama-lama. Harus ada tindakan kongkrit segera untuk mengembalikan keaslian Itik Pitalah yang hanya bisa didapatkan setelah tujuh kali keturunan. Pemulihan keaslian itik ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pembibitan ulang dengan indukan yang sesuai kriteria itik Pitalah sebelumnya. Dibutuhkan sumber daya manusia yang ahli dan bantuan pemerintah untuk melakukan pelestarian itik Pitalah, sehingga populasi plasma nutfah lokal Sumatera Barat ini dapat diselamatkan dari ambang kepunahan. RebekaPatricia Sianturi, Mahasiswa Fapet Universitas Andalas.

 

Sumber: https://www.poultryindonesia.com/news/riset-artikel-referensi/itik-pitalah-plasma-nutfah-dari-ranah-minang/

Logo

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

Jl. Harsono RM No.3
Gedung C Lt 6 - 9, Ragunan, Kec. Pasar Minggu,
Kota Jakarta Selatan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12550

Tlp: (021) 7815580 - 83, 7847319
Fax: (021) 7815583

[email protected]
https://ditjenpkh.pertanian.go.id/

Tetaplah Terhubung

Mari jalin silaturahmi dengan mengikuti akun sosial media kami

Copyright © 2021 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian - All Rights Reserved

Aksesibilitas

Kontras
Saturasi
Pembaca Layar
D
Ramah Disleksia
Perbesar Teks
Jarak Huruf
Jarak Baris
Perataan Teks
Jeda Animasi
Kursor
Reset